Indonesia merupakan negara berkembang terbesar yang memiliki sejarah panjang dalam proses desentralisasi. Sejak kemerdekaan Indonesia, produk perundang - undangan yang mengatur hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan di daerah telah mengalami berbagai perubahan sebagai proses pencarian bentuk dan susunan yang tepat dalam sistem hubungan pusat dan daerah.
Desentralisasi Indonesia dimulai pada tahun 1999, pada saat dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan daerah. Salah satu penerapan dari desentralisasi Indonesia adalah otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia merupakan salah satu langkah strategis bangsa Indonesia dalam hubungannya untuk memperkuat basis perekonomian daerah. Melalui otonomi, pemerintah daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang jauh lebih besar terhadap proses pembangunan daerah. Salah satu konteks pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah adanya alokasi untuk penyediaan barang publik yang berimplikasi pada meningkatnya pendanaan pemerintah daerah terhadap pembangunan di masing - masing daerah. Pemerintah daerah memperoleh dana perimbangan daerah yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), termasuk dana otonomi khusus yang diterima oleh pemerintah provinsi Aceh dan provinsi Papua. Dana tersebut secara riil telah meningkat sebesar lima kali lipat sejak desentralisasi dimulai, tahun 2001. Dengan demikian pemerintah daerah mempunyai kesempatan yang cukup luas untuk mempercepat pembangunan daerahnya.
Besarnya dana transfer dari pemerintah pusat kepada daerah tidak dengan serta merta di imbangi dengan kemampuan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Terdapat dua tantangan besar dalam pengelolaan keuangan daerah, yaitu Berbagai penelitian tentang pengelolaan keuangan daerah, menunjukkan bahwa meskipun jumlah pendanaan yang di terima belanja pemerintah belum terbilang efektif dalam mencapai target-target pembangunan yang ingin di tetapkan. Meskipun beberapa capaian pembangunan mencatat perkembangan yang cukup siginifikan seperti imunisasi dan akses terhadap air bersih, beberapa capaian lainnya di bidang pendidikan dan infrastruktur di banyak daerah masih merupakan tantangan. Alokasi belanja daerah belum efektif dalam menjawab berbagai kesenjangan pembangunan. Belanja pegawai secara keseluruhan terhitung sebesar 40 persen dari keseluruhan belanja. Salah satu penyebabnya adalah maraknya pemekaran daerah.
Desentralisasi Indonesia dimulai pada tahun 1999, pada saat dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan daerah. Salah satu penerapan dari desentralisasi Indonesia adalah otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia merupakan salah satu langkah strategis bangsa Indonesia dalam hubungannya untuk memperkuat basis perekonomian daerah. Melalui otonomi, pemerintah daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang jauh lebih besar terhadap proses pembangunan daerah. Salah satu konteks pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah adanya alokasi untuk penyediaan barang publik yang berimplikasi pada meningkatnya pendanaan pemerintah daerah terhadap pembangunan di masing - masing daerah. Pemerintah daerah memperoleh dana perimbangan daerah yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), termasuk dana otonomi khusus yang diterima oleh pemerintah provinsi Aceh dan provinsi Papua. Dana tersebut secara riil telah meningkat sebesar lima kali lipat sejak desentralisasi dimulai, tahun 2001. Dengan demikian pemerintah daerah mempunyai kesempatan yang cukup luas untuk mempercepat pembangunan daerahnya.
Besarnya dana transfer dari pemerintah pusat kepada daerah tidak dengan serta merta di imbangi dengan kemampuan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Terdapat dua tantangan besar dalam pengelolaan keuangan daerah, yaitu Berbagai penelitian tentang pengelolaan keuangan daerah, menunjukkan bahwa meskipun jumlah pendanaan yang di terima belanja pemerintah belum terbilang efektif dalam mencapai target-target pembangunan yang ingin di tetapkan. Meskipun beberapa capaian pembangunan mencatat perkembangan yang cukup siginifikan seperti imunisasi dan akses terhadap air bersih, beberapa capaian lainnya di bidang pendidikan dan infrastruktur di banyak daerah masih merupakan tantangan. Alokasi belanja daerah belum efektif dalam menjawab berbagai kesenjangan pembangunan. Belanja pegawai secara keseluruhan terhitung sebesar 40 persen dari keseluruhan belanja. Salah satu penyebabnya adalah maraknya pemekaran daerah.
Besarnya belanja aparatur yang mendominasi kapasitas fiskal, menyebabkan terbatasnya belanja untuk meningkatkan pelayanan publik. Belum maksimalnya pembangunan di daerah, tentunya tidak terlepas dari kualitas perencanaan pemerintah daerah yang belum secara tepat dan proporsional dalam membelanjakan sumber daya keuangannya. Kualitas perencanaan dalam penganggaran merupakan salah satu pintu utama keberhasilan pelayanan publik. Perencanaan penggunaan sumber daya fiskal yang baik hendaklah berdasarkan suatu hasil kajian atau analisis yang akurat mengenai kebutuhan pembangunan termasuk sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Hal ini akan menjawab beberapa tantangan sistem perencanaan seperti seberapa besar sumber daya anggaran yang harus dialokasikan untuk mendukung pencapaian sasaran tertentu dalam konteks efektivitas alokasi dan efisiensi.
Bagi anda yang membutuhkan panduan mengenai analisis belanja publik, silakan unduh file dibawah ini.
No comments:
Post a Comment